Sabtu, 21 Februari 2009

MUTIARA - MUTIARA YANG TERCAMPAK

Anak-anak adalah tunas harapan bangsa. Oleh karena itu seorang anak harus berusaha dengan sungguh-sungguh membekali dan mengasah diri supaya kedepannya menjadi anak yang berguna bagi nusa dan bangsa. Pekerjaan utama seorang anak dan sekaligus menjadi kewajiban anak adalah dengan belajar keras. Dengan belajar keras, seorang anak akan mampu untuk hidup dalam persaingan masa depan. Demikian ungkapan yang akrab ditelinga ketika pembicaraan mengarah pada masa depan. Hal ini juga akrab ditelinga ketika seorang guru memberikan ceramah kepada anak didiknya, pun ketika seorang kepala pemerintah memberikan ceramah pada hari anak nasional.

Memang demikianlah adanya. Ketika anak-anak masa kini tidak dibekali dengan baik, situasi bangsa ini kedepannya akan semakin runyam. Namun ada baiknya bila selalu melihat antara kenyataan dan harapan. Hal diatas adalah harapan, dan mungkin harapan kita bersama. Tapi kenyataannya bagaimana? Sudahkah semua anak mendapatkan hak belajar pada dunia pendidikan? Sudahkan seberapa serius upaya kearah tersebut ? Siapa yang bertanggung jawab terhadap anak-anak yang tidak beruntung mendapatkan pendidikan yang semestinya?

Sungguh banyak orang yang tidak beruntung di negeri ini.
Mereka tidak beruntung untuk mendapatkan hidup yang layak dan sejahtera. Data bank dunia menyebutkan hampir setengah dari penduduk Indonesia adalah penduduk kategori miskin. Penduduk miskin memiliki sedikit ruang untuk mendapatkan barang dan jasa, termasuk pendidikan. Hal ini di perparah dengan mahalnya biaya pendidikan. Hanya golongan tertentu dalam kelas masyarakat Indonesia yang memiliki kesempatan memperoleh pendidikan, apalagi pendidikan yang tinggi dan bermutu.
Golongan miskin banyak dengan terpaksa setengah menelantarkan anaknya. Dalam keadaan sadar, orang tua menyuruh anak untuk ikut mencari nafkah. Dalam keadaan sadar juga, orang tua terpaksa memberhentikan anaknya dari sekolah. Anak-anak yang ditelantarkan tersebut akhirnya banyak yang menghabiskan waktu di jalanan. Profesi berbeda-beda, ada yang halal dan ada yang haram. Yang halal seperti menjadi pedagang asongan, pengemis, kondektur, dan yang lain. Profesi yang haram seperti menjadi pencopet. Dunia jalanan menjadi pendidikan bagi mereka, dan kerasnya dunia jalanan menjadi pelajaran batu bagi mereka. Hal ini akhirnya membuat akan tersebut menjadi anak yang kuat secara mental, mental untuk melakukan kompetisi secara fisik.

Tentu ini adalah sebuah ironi di negara yang berdaulat dengan kekayaan yang berlimpah. Anak-anak jalanan seseungguhnya adalah mutiara-mutiara negeri yang permai ini, mereka juga pewaris sah negeri ini hanya sayangnya mereka mutiara yang tercampak dan terlupa. Mereka dikatakan sebagai mutiara yang tercampak dan terlupa, karena mereka mestinya mendapakan pelayanan dari negara, sebagaimana diamanatkan UUD 1945 “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Selanjutnya, mereka adalah mutiara yang terlupa, dimana orang-orang beruntung di negara ini lupa bahwa sebagian dari apa yang mereka punya adalah juga hal dari anak jalanan tersebut. Keegoisan manusia telah membuat jurang pemisah yang semakin terjal antara orang yang beruntung dan orang yang tidak beruntung.

Kebijakan-kebijakan pemerintah sebagai pelayan masyarakat juga belum berpihak kepada rakyat, utamanya anak-anak jalanan. Pemerintah belum memiliki program yang terarah untuk menghindarkan anak dari jalanan dan dunia kekerasan. Malah yang terjadi sering sekali pemerintah melalui aparatnya menangkap para gelandangan dan pengemis, karena mereka dianggap mengacaukan
kota . Padahal, anak jalanan tersebut juga sebenarnya tidak punya cita-cita sebagai orang yang mendapatkan nafkah dengan cara mereka saat ini. Mereka tentu menginginkan sebuah kehidupan yang lebih baik dan manusiawi. Artinya adalah tidak ada keseriusan pemerintah.
Para
hartawan di negara ini juga belum terketuk hatinya untuk melakukan sebuah misi sosial mengangkat anak jalanan. Para hartawan lebih memilih untuk semakin menimbun dan melipat gandakan hartanya. Bahkan tidak jarang para hartawan (pengusaha) melakukan penyerobotan tanah milik orang miskin.

Ekonomi harus berpihak
Kondisi ekonomi menjadi faktor yang menyebabkan lahirnya anak jalanan. Orang tua yang tidak memiliki dana untuk menyekolahkan anaknya menyebabkan anak mencari kegiatan baru, yakni mencari uang. Upaya mencari uang yang paling cepat bagi mereka adalah di jalanan. Boleh dikatakan bahwa faktor ekonomi menjadi penyebab besar lahirnya mutiara yang tercampakkan tadi.
Mengatasi semakin banyaknya anak jalanan tentu juga dengan perbaikan ekonomi masyarakat dan anak jalanan tersebut. Anak-anak jalanan harus diangkat kehidupannya, bukan malah dibunuh pelan-pelan. Ekonomi rakyat juga harus diperbaiki guna mencegah tercampaknya mutiara yang indah. Ekonomi yang mensejahterakan, akan berhasil berkat keseriusan pemerintah dan dorongan dari masyarakat.
Mudah-mudahan, beberapa tahun kedepan kita tidak lagi melihat mutiara yang demikian indahnya akan tercampak dan ditimpa oleh arus zaman globalisasi.

Suang Sitanggang
PMKRI Angktn 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar