Minggu, 22 Februari 2009

NILAI – NILAI KEBANGSAAN dan SEMANGAT NASIONALISME KAUM MUDA

Di antara dua benua, yang menghubungkan dua samudra, aku berpijak, aku menatap keagungan karya ciptaanNya. Dan di sana aku dilahirkan, mengarungi jalan kehidupan aku berdoa, aku bekerja, mengisi kemerdekaan bangsa, Tentram ku rasa di pangkuanmu, Oh Ibu Pertiwi, trimalah karya baktiku, Kan ku pertahankan wilayah negeriku, Bumi Nusantara Indonesia Raya


Pengantar

Bangkitnya kesadaran atas kesatuan kebangsaan dan nasionalisme yang dirintis oleh Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 menjadi inspirasi bagi munculnya organisasi perjuangan lainnya, di antaranya Jong Ambon (1909), Jong Java dan Jong Celebes (1917), Jong Sumatera dan Jong Minahasa (1918). Pada tahun 1911 juga berdiri organisasi Sarikat Islam, disusul Muhammadiyah pada tahun 1912, Nahdlatul Ulama 1926, dan Partai Nasional Indonesia 1927.

Fenomena munculnya nasionalisme tersebut terjadi karena didorong oleh faktor sejarah, yang secara ideologis merupakan kristalisasi kesadaran berbangsa dan bernegara. Pada awalnya nasionalisme tumbuh dan berkembang ketika ada peluang pembuka jalan bagi pembentukan sebuah negara dan bangsa.

Nasionalisme inilah yang sesungguhnya secara efektif mentransformasikan komunitas tradisional menjadi sebuah komunitas modern berbentuk negara-bangsa atau nation state. Kendati memiliki tujuan institusional yang berbeda-beda, akan tetapi semua organisasi kebangsaan memiliki ciri yang sangat menonjol yakni sama-sama bertekad mencapai Indonesia merdeka.

Kebangsaan dan Nasionalisme

Kebangsaan berasal dari kata “bangsa” yang dalam bahasa inggris “nation”. Orang Indonesia menyebutnya sebagai paham kebangsaan, orang inggris menyebutnya sebagai nationalism. Istilah nationalism kemudian diadopsi dalam bahasa Indonesia menjadi nasionalisme. Jadi,nasionalisme adalah juga paham kebangsaan.

Ernest Renan mendefenisikan nasionalisme sebagai kehendak untuk bersatu sebagai bangsa. Kehendak ini tumbuh karena didorong kesadaran akan adanya riwayat atau pengalaman hidup yang sama dan dijalani bersama. Ir. Soekarno menyebut bahwa nasionelisme Indonesia adalah untuk menciptakan dan mempertahankan kedaulatan Indonesia, selanjutnya secara bersama-sama bangsa ini mencintai tanah air, bangsa dan negara.

Sikap / paham nasionalisme harus senantiasa memperhatikan aspek persatuan, keadilan, dan kemanusiaan. Nasionalisme Inggris dengan motto righ or wrong England is my country dianggap terlalu berlebihan karena hal demikian berarti merendahkan martabat bangsa lain dan telah melegitimasi negara untuk menjajah bangsa asing. Demikian juga paham nasionalisme yang di usung oleh Nazi di Jerman. Nazi beranggapan bahwa bangsa jerman adalah bangsa terbaik dan tertinggi di dunia. Tidak ada bangsa yang setara dengan jerman. Contoh dari dua negara diatas adalah nasionalisme yang tidak memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan.

Nasionalisme sebaiknya mengarah pada konsep righ is righ and wrong is wrong (benar adalah benar dan salah adalah salah). Hal ini berarti mendukung kehidupan bernegara selama berjalan benar, mengingatkan negara pada saat salah arah.

Semangat Nasionalisme Dan Berbagai Fenomena

Rasa kebanggaan sebagai Banga Indonesia semakin lama semakin menipis. Orang Indonesia tidak lagi bangga dengan karya negerinya, kini lebih memilih karya luar negeri. Rasa saudara sebangsa semakin menipis antar umat beragama dan antar suku. Pertikaian yang membawakan isu suku dan agama semakin sering terjadi. Antar kelompok dalam masyarakat saling mencurigai. Ketika budaya asing masuk, dengan mudahnya juga kita meniru budaya mereka dan meninggalkan budaya kita selama ini. Inilah fenomena bangsa kita masa kini.

Dalam sebuah sarasehan yang dilaksanakan lintas OKP bertajuk Dinamika Pemuda dan Budaya Indonesia, di dapat kesimpulan bahwa semangat nasionalisme kepemudaan saat ini menyusut akibat globalisasi yang melanda negara ini. Berbagai perubahan radikal mulai terlihat dari tingkah laku, kondisi sosial, dan pandangan hidup yang kini cenderung menganut pola hidup dan pola pikir instan. Thomas Koten dalam bukunya “dibalik kasus ambalat” mengatakan bahwa memudarnya rasa kebangsaan bagi bangsa Indonesia selama beberapa tahun belakangan ini, sesungguhnya disulut oleh menguatnya sentimen kedaerahan dan semangat primordialisme. Suatu sikap yang sedikit banyak disebabkan oleh kekecewaan sebagian besar anggota dan kelompok masyarakat bahwa kesepakatan bersama (contract social) yang mengandung nilai-nilai seperti keadilan dan perikemanusiaan dan musyawarah kerap hanya menjadi retorika kosong. Ini membuat generasi sekarang menjadi gamang terhadap bangsa dan negaranya sendiri. Tidak mengherankan semangat solidaritas dan kebersamaan pun terasa semakin hilang sejak beberapa dekade terakhir.

Otonomi daerah yang diharapkan mampu memotong birokrasi dan mempercepat pembangunan di daerah, malah justru menciptakan dan mempermudah masuknya para kapitalis asing untuk melebarkan sayapnya di daerah yang mempunyai potensi kekayaan sumber daya alam. Di samping itu pula sebagian pemerintah daerah justru lebih birokratis dari pada birokrasi itu sendiri, daerah beranggapan, penguatan komunikasi birokrasi yang efektif ke pusat tidak lagi perlu dikarenakan daerah merasa mampu menangani. Akibat dari itu muncul perda-perda yang bisa menimbulkan perda-perda di daerah lain dengan menuntut kesamaan, seperti keharusan memakai jilbab di daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Perda tersebut menyulut daerah lain yang mayoritas penduduknya non muslim, contoh perda yang melarang memakai jilbab, dan masih banyak lagi persoalan yang diakibatkan evoria daerah menerbitkan perda yang kurang ter-inspirasi rasa nasionalisme. Akibatnya, lagi-lagi benteng nasionalisme masyarakat di daerah rapuh dan semakin jauh dari harapan para pahlawan pendahulu bahkan rentan terhadap disintegrasi.

Nasionalisme Pemuda

Pemuda Indonesia dalam sejarahan cukup memainkan perannya dalam 'mendesain' setiap peristiwa besar perubahan bangsa ini, bahkan sekaligus menjadi aktor utama dalam peristiwa perubahan tersebut. Dalam hal ini bisa katakan bahwa pemuda telah memiliki daya responsivitas yang tinggi dalam menerjemahkan semangat zamannya masing-masing. Namun di sisi lain, kenyataan memilukan yang juga sering mengemuka di setiap panggung sejarah perubahan adalah bahwa kaum muda seperti kurang memiliki energi untuk mengarahkan perubahan serta kurang memiliki kesiapan kompetensi untuk mengisi perubahan tersebut.

Di situlah letak tantangan yang harus dihadapi oleh kaum muda saat ini dihadapkan pada berbagai persoalan, baik di tingkat lokal seperti korupsi, kemiskinan, pengangguran, kemandirian dan lain-lain maupun di tingkat global seperti globalisasi, pemanasan global, terorisme, dan sebagainya. Itu semua tentu saja tidak bisa diselesaikan oleh para pemuda yang hanya bisa bernostalgia dan beromantisme mengenang masa yang telah berlalu.

Setiap perubahan perlu energi besar yang lahir dari jiwa yang senantiasa menggelora khas anak muda, cerminan dari hati yang bersih serta nurani yang senantiasa berkobar. Jadi bukan munculnya generasi anak nongkrong yang jadi persoalan. Namun, intinya adalah ketika sensitivitas krisis dari generasi muda terus melemah serta kepeduliannya terhadap persoalan-persoalan besar telah terkikis, maka tunggulah saat di mana pemuda akan semakin menepi dan terpinggirkan dari panggung sejarah peradaban.

Catatan Penutup

Negara ini tidak hanya terdiri dari satu suku, satu bahasa, satu agama, dan yang lain, tapi negara ini adalah negara yang bangsanya hidup dalam pluralisme (kemajemukan). Selain kemajemukan, di tingkatan inernasional kita juga dihadapkan pada tantangan yang sangat menakutkan : Globalisasi. Globalisasi merupakan penjajahan dalam bentuk baru, yakni penjajahan dengan mengangkat modal. Secara harafiah kita merdeka, tapi secara taraf kehidupan kita masih terjajah. Kita terjajah oleh kolaborasi pengusaha – penguasa – pemodal (kapitalis). Ekonomi kita dikuasai oleh mereka yang menyebabkan tingginya angka kemiskinan, pengangguran, dan fenomenan social lainnya.

Semangat nasionalisme-kebangsaan menjadi salah satu jalan bagi kita dalam mewujudkan cita-cita negara yang telah dirumuskan dengan jelas dalam UUD 1945. Nasionalisme mengkehendaki adanya persatuan antar elemen masyarakat. Sejarah telah membuktikan bahwa persatuan yang tidak memandang perbedaan telah mampu merobohkan benteng-benteng penguasa penindas.

Zaman mungkin boleh berubah, semangat zaman yang menyertainya pun mungkin saja berbeda. Tetapi sekali lagi, akan selalu ada cahaya di ujung lorong yang gelap jika tetap ada sekelompok pemuda di setiap zaman yang tidak kehilangan sensitivitas dan kepeduliannya. Dua hal ini merupakan substansi dari nasionalisme yang dapat dipakai sebagai syarat minimal guna menakar nasionalisme kaum muda di setiap zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar